Masterceme, Wisata - Cindy Tan ingat betul hari Minggu (15/3) jadi hari terakhirnya menjadi pemandu rombongan wisata jalan kaki (walking tour) di kawasan Jakarta Pusat. Mulai pertengahan Maret lalu objek wisata, termasuk museum, ditutup sementara demi mencegah penularan virus corona. Tur-tur yang musti ia dampingi ikut dibatalkan.
Meski Indonesia baru melaporkan kasus Covid-19 di awal Maret, Cindy sudah terkena imbas corona sejak Februari lalu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sebagai pemandu wisata kerap membuatnya mendatangi kota-kota di China seperti Kunming, Hainan dan Beijing.
"14-15 Maret itu tur terakhir Rasanya sedih sih, ya mau gimana lagi, museum udah pada tutup. Yang saya ingat, itu terakhir kali saya ke gereja (Katedral Jakarta), lalu ke Goa Maria dan berdoa di sana," kata Cindy .
Rasa sedih berganti bahagia karena PSBB serasa liburan. Biasanya menemani orang berlibur, kini gilirannya merasakan di rumah, begadang, menonton drama Korea, tidur, bahkan tidak mandi dua hari tanpa diprotes. Hanya saja, rasa bahagia itu hanya bertahan sekitar dua minggu.
"Mulai gatel nih pengen nge-guide. Biasanya ngomong saban hari, habis itu enggak ngomong sama siapa-siapa, kesel juga," keluhnya.
Titik terang pun ia temukan saat seorang kawan dari komunitas tempat ia bergabung terlintas untuk sekadar iseng. Cindy bercerita, salah satu pendiri Jakarta Good Guide (JGG), Farid, mengajak dirinya dan anggota komunitas untuk menjajal tur virtual.
Bermodal koneksi internet dan aplikasi Zoom, rupanya dirinya menemukan keseruan.
"Mulai deh bawa tur virtual atau tur khayalan itu di April kemarin. Founder komunitas nih nawarin. Kami jajal, lumayan juga buat sedikit menghibur hati duka lara enggak bisa nge-guide. Terus habis itu tergila-gila," ujarnya disusul tawa.
Berkhayal yang menantang
Sekali waktu mengikuti tur virtual memang tidak seasyik tur sesungguhnya. Saat tur kopi-kopi legendaris Jakarta, orang cuma bisa menelan ludah sembari mendengarkan Cindy bercerita.
Meski tampak mudah karena tak perlu ke TKP, dirinya menuturkan justru tur virtual ini jauh lebih menantang ketimbang tur biasa.
Ia dituntut belajar lebih banyak, menyiapkan materi seperti gambar dan video, juga cara bertutur yang pas.
"Misalnya nih, ceritanya ada es krim, tur biasa ya bisa nyobain es krimnya. Tapi (di tur virtual) ini saya harus menggambarkan es krim pakai kata-kata, imajinasi tinggi. Persiapannya juga banyak. Kalau tur biasa selama 1,5 jam, saya bisa belajar malamnya. Ini tur virtual, yang kopi kemarin, bisa persiapan dua minggu," paparnya.
Meski hanya tur khayalan, ada saja hal yang terjadi sehingga membuat tur lebih 'berwarna'.
Pertengahan April lalu, Cindy pertama kalinya membawa rombongan tur virtual ke Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sampai di Gang Kelinci, seharusnya ia memutar video berisi lagu Gang Kelinci.
"Akhirnya saya nyanyi live, pas itu ada sekitar 40-an peserta tur deh. Untung enggak ada yang protes atau mungkin mereka cabut headphone," katanya terkekeh.
Selain bernyanyi 'di hadapan' peserta tur, ia pun pernah tak sengaja menikmati makanan ringan di jam ngabuburit. Rasa lapar menanti pemutaran video membuatnya meraih sebungkus keripik di dekat laptop.
Dirinya sadar saat seorang kawan mengirim pesan. "Cin, tolong ya ini jam ngabuburit," kenangnya.
"Yak ampun, saya malu banget. Itu gara-gara lupa matiin mic dan video. Duh rasanya ingin tenggelam. Ingin rasanya matiin video, enggak mau nge-guide lagi," ujarnya.
Kenyataannya, ia masih berusaha kalem dan menyelesaikan perjalanan. Dirinya hanya bisa bersabar dengan komentar miring peserta di kolom 'chat'.
Cerita-cerita kocak tur virtual ini pun tak membuatnya kendur. Pengalaman ini bisa jadi sarana belajar sekaligus mengumpulkan pundi.
"Ini lebih baik daripada enggak ada. Ini bukan soal uang. Kalau mau cari uang yang beneran, nunggu Covid-19 kelar dan bawa tur keluar. Kalau ini lumayan bisa buat beli makanan buka puasa," katanya.
Membaca masa depan tur virtual
Dalam sebulan, ia bisa membawa tur beberapa kali. Ia pun bergantian membawa tur bersama komunitas JGG. Ke depan, kata dia, tidak menutup kemungkinan tur virtual ini masih diminati.
Menurut Cindy, tur virtual seperti ini bisa memberikan kesempatan buat mereka yang tidak memungkinkan untuk berlibur ke luar negeri.
"Misalnya, kalau ke Amsterdam, sekali pergi bisa 12 jam perjalanan, belum biaya penginapan, ya ini bisa buat hiburan sekaligus gambaran seperti apa di sana," lanjutnya.
Sedangkan buat mereka yang sudah pernah ke sana, tur virtual jadi kesempatan buat nostalgia.
Belum lama ini ia membawa tur virtual ke Hainan. Ada beberapa peserta yang sudah pernah berkunjung ke sana dan tur virtual membuat mereka mengenang perjalanan kemarin. Segala rindu tumpah sampai kerinduan akan permen kelapa khas sana.
Cindy pun mengamati ada peserta tur dari luar Jakarta. Buatnya, ini pun jadi kesempatan untuk memperluas silaturahmi.
"Sejauh ini pada seneng. Ya ya sudah, enggak bisa jalan-jalan keluar, terus halu-halu dikit ke sana, ke sini, lumayan. Cuma saya kangen juga sih berjemur, panas-panas, jalan kaki bareng rombongan tur," pungkasnya.
0 Komentar