Indonesia, Wisata - "Mutiara indah di ujung timur Indonesia", rangkaian kalimat ini muncul begitu saja saat saya mengetik Raja Ampat di mesin pencarian internet.
Tak hanya informasi destinasi wisata yang berada di sana, terselip pula beberapa foto yang membuat saya sempat tertegun sesaat melihatnya.
Warna air laut bening kehijauan, perbukitan karang yang menjulang tinggi dan langit biru sangat memanjakan mata, walaupun hanya lewat internet.
Tersemat bintang 4,1 dari 633 ulasan di Google tentang Raja Ampat menjadikan saya tak ragu akan keindahan yang ditampilkan. Ini menjadi acuan saya memilih Raja Ampat untuk bernafas dari sumpeknya Jakarta.
Di laman pencarian saya, rute penerbangan menuju langsung ke Raja Ampat belum tersedia. Penerbangan hanya bisa dilayani hingga Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat.
Setelah itu dilanjutkan dengan kapal feri dari Pelabuhan Sorong menuju Pelabuhan Waisai, Raja Ampat.
Pencarian tak terhenti sampai di situ, saya juga mencari informasi paket tur wisata Raja Ampat. Dengan dalih paket tur wisata lebih murah ketimbang solo travel.
Tak bisa dipungkiri anggapan berlibur ke Raja Ampat mahal benar adanya. Jadi harus benar-benar jeli melihat paket tur wisata yang 'ramah dompet'.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil salah satu paket tur wisata ke Raja Ampat pada pertengahan bulan Oktober kemarin bertepatan dengan Festival Bahari Raja Ampat 2019.
Berbekal informasi yang saya dapat festival ini akan mengajak wisatawan berkeliling destinasi wisata Raja Ampat yang berbeda dari biasanya selama 7 hari 6 malam.
Paket tur yang saya ambil sudah termasuk dengan tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Sorong, tiket penyebrangan, hostel penginapan dan makan sehari tiga kali.
Pada hari pemberangkatan, saya berkumpul dengan peserta tur lainnya di Bandara Soekarno Hatta terminal 2 pada jam 21.00 WIB.
Tiket pesawat yang saya pegang tertulis jam penerbangan pukul 23.55 WIB dan tiba di Sorong pukul 06.15 WIT. Lama perjalanan menghabiskan kurang lebih empat jam.
Gambaran awal saya tentang matahari pagi di ufuk paling timur Indonesia buyar, lantaran awan mendung dan hujan deras menyambut saya setibanya di Sorong.
Rasa kecewa sempat terlintas, tak bisa menikmati Raja Ampat ala 'foto Google' karena terhalang cuaca buruk.
Mereda rasa kecewa, saya mengintip runtutan rencana perjalanan dari agen tur. Setibanya di Sorong akan menginap satu malam terlebih dahulu dan akan menyeberang ke Waisai, Raja Ampat pada esok paginya.
Dalam benak saya, agen tur akan mengajak kami berkeliling Kota Sorong dan bisa menyempatkan diri ke tempat pembuatan tas noken. Dengan alasan keamanan, ternyata pemandu wisata tidak berani menemani ke tempat yang saya dan teman tur inginkan.
Memang dua bulan sebelumnya tersebar informasi bahwa Sorong sempat terjadi kerusuhan. Bandara pun sempat ditutup akibat kerusuhan.
Namun, sebelum festival ini digelar Pemerintah Papua Barat sudah memastikan bahwa wilayahnya termasuk Raja Ampat aman. Jadi menurut saya untuk alasan yang disampaikan pemandu wisata saat itu tak bisa saya terima bulat-bulat.
Esok harinya, saya bersiap diri untuk penyeberangan ke Waisai. Tambahan informasi, penyeberangan dari Sorong ke Waisai hanya dilayani satu kali satu hari jam 09.00.
Berlaku juga untuk perjalanan kembali dari Waisai ke Sorong di jam 14.00. Penyeberangan ditempuh selama satu setengah jam dengan kapal feri Marina Express.
Setibanya di Pelabuhan Waisai, gerimis menemani saya dan rombongan tur wisata lainnya. Kami pun sempat diajak berkeliling di kota Waisai sebelum diantar ke hostel penginapan.
Tujuan pertama di Waisai berkunjung ke Museum Geopark Waisai. Menuju ke sana hanya menghabiskan waktu sepuluh menit dari pelabuhan.
Di museum itu menampilkan informasi yang berkaitan dengan pulau-pulau yang ada di Raja Ampat. Di setiap pulau di Raja Ampat memiliki keunikannya masing-masing baik flora maupun faunanya.
Tidak sampai setengah jam, saya diajak ke Gereja Alfa Omega Waisai Raja Ampat yang merupakan satu tempat ibadah terbesar yang berada di sana.
Dari kejauhan gedung gereja tampak unik, karena ada patung kerang besar di depan halamannya. Hanya saja saya tidak bisa masuk sampai ke dalam gedung, lantaran gereja hanya dibuka pada hari Minggu.
Dari dua tempat itu, saya menuju ke hostel penginapan. Tempat saya menginap Gurara Resort, yang letaknya jauh dari pusat kota Waisai. Hampir semua tempat penginapan yang berada di Waisai berdekatan.
Kondisi jalan menuju ke sana masih kurang baik, penerangan jalan tidak terlalu banyak, jadi sangat tidak direkomendasikan perjalanan ke hostel sendirian pada malam hari.
Hostel penginapan yang saya tempati ini cukup unik. Di belakang gedung penginapan terdapat dermaga kecil untuk kapal singgahi, dan kondisi air laut di bawahnya berwarna hijau tosca.
Penjaga hostel pun memperbolehkan tamunya untuk menyelam langsung dari dermaganya, bahkan alat selam lengkap dan bisa disewa.
Hampir empat hari saya menginap di kota Waisai, Raja Ampat. Selama itu pula saya mengelilingi destinasi wisata yang ada di sana.
Moda transportasi yang digunakan selama petualangan dengan kapal cepat yang bisa memuat 8-12 orang sudah termasuk dengan anak buah kapal (ABK) dan pemandu wisata.
Sesuai dengan jadwal rencana perjalanan, hari kedua saya menuju tiga destinasi wisata di sekitar Teluk Mayalibit yaitu Pulau Lapintol, Batu Kelamin, Pulau Ajele dan Kalibiru.
Hari berikutnya, bisa dibilang hari yang ditunggu semua wisatawan yakni snorkeling di empat titik, yakni di Pantai Friwen Wall, Pasir Timbul, Pantai Yenbuba, Pantai Sawandarek dan Pantai Yenbuba.
Tak perlu khawatir, pemandu wisata juga sudah menyediakan alat snorkeling yang bisa disewa dengan biaya Rp 100ribu per hari.
Di hari ketiga atau hari terakhir Festival Bahari Raja Ampat, saya mengunjungi Pulau Geopark Painemo, Telaga Manta, dan menikmati pemandangan matahari tenggelam di Pantai Friwen Wall.
Di setiap destinasi wisata diberikan waktu setengah jam hingga satu jam dan kembali ke penginapan sebelum matahari terbenam.
Hampir semua destinasi wisata di Raja Ampat yang saya kunjungi sesuai dengan ekspetasi pemandangan ala 'foto Google'.
Saya pun bisa memberikan penilaian lebih di rekomendasi Google, bahkan saya benar mempercayai setiap foto yang tersemat di laman internet tidak perlu lagi proses editing.
Setiap warna dari jepretan kamera saya benar-benar mewakili yang ada di sana dari beningnya air laut, bersihnya langit biru, putihnya awan, dan eksotisme tiap pulau-pulau di Tanah Papua itu.
Sumber : CNNINDONESIA
0 Komentar